SEJARAH KOTA KELAHIRANKU
Daerah
Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta, Jakarta Raya) adalah ibu kota negara Indonesia. Jakarta merupakan satu-satunya kota di
Indonesia yang memiliki status setingkat provinsi.
Jakarta terletak di bagian barat laut Pulau Jawa.
Dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum
1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia/Batauia,
atau Jaccatra (1619-1942), dan Djakarta (1942-1972).
Jakarta
memiliki luas sekitar 661,52 km² (lautan: 6.977,5 km²), dengan penduduk
berjumlah 9.607.787 jiwa (2010). Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa, merupakan
metropolitan terbesar di Indonesia atau urutan keenam dunia.
Peta Batavia (sekarang Jakarta) tahun 1888.
Etimologi
Nama Jakarta digunakan sejak masa penjajahan Jepang tahun 1942, untuk menyebut wilayah bekas Gemeente Batavia yang
diresmikan pemerintah Hindia Belanda tahun
1905. Nama ini dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta (Dewanagari जयकृत), yang diberikan oleh
orang-orang Demak dan Cirebon di
bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah menyerang dan menduduki
pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Nama ini biasanya
diterjemahkan sebagai "kota kemenangan" atau "kota
kejayaan", namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh
sebuah perbuatan atau usaha".
Bentuk lain
ejaan nama kota ini telah sejak lama digunakan. Sejarawan Portugis João de
Barros dalam Décadas da Ásia (1553)
menyebutkan keberadaan "Xacatara dengan
nama lain Caravam (Karawang)". Sebuah
dokumen (piagam) dari Banten (k. 1600) yang dibaca ahli epigrafi Van der
Tuuk juga telah menyebut istilah wong Jaketra, demikian
pula nama Jaketra juga disebutkan dalam surat-surat Sultan Banten[10] danSajarah
Banten (pupuh 45 dan 47) sebagaimana
diteliti Hoessein Djajadiningrat. Laporan Cornelis de Houtman tahun
1596 menyebutPangeran Wijayakrama sebagai koning van Jacatra (raja
Jakarta).
Sunda Kelapa (397–1527)
Jakarta
pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kalapa, berlokasi
di muara Sungai Ciliwung. Ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kalapa selama dua
hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa merupakan salah satu pelabuhan
yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede,
Tamgara dan Cimanuk. Sunda Kalapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap
pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang
disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern:
dayeuh yang berarti ibu kota) dalam tempo dua hari. Kerajaan Sunda sendiri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-5 sehingga pelabuhan ini diperkirakan telah ada
sejak abad ke-5 dan diperkirakan merupakan ibu kota Tarumanagara yang disebut
Sundapura.
Pada abad
ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal
asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan,
dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa
barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur,
dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang
saat itu.
Jayakarta (1527–1619)
Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama
yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang
ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan
dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Upaya permintaan bantuan Surawisesa kepada
Portugis di Malaka tersebut diabadikan oleh orang Sunda dalam
cerita pantun seloka Mundinglaya Dikusumah, dimana Surawisesa diselokakan dengan nama gelarnya
yaitu Mundinglaya. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon
yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut. Orang Sunda menyebut
peristiwa ini tragedi, karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota
pelabuhan tersebut dan membunuh banyak rakyat Sunda disana termasuk syahbandar
pelabuhan. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, walikota
Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan tragedi pendudukan pelabuhan Sunda
Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti "kota kemenangan".
Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada putranya
yaitu Maulana
Hasanuddin dari Banten yang menjadi sultan di Kesultanan Banten.
Batavia (1619–1942)
Orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16,
setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jayakarta
pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada 1619, VOC dipimpin
oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki
Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya menjadi Batavia. Selama
kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting.
(Lihat Batavia).
Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja.
Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir
Malabar, India. Sebagian berpendapat bahwa mereka inilah
yang kemudian membentuk komunitas yang dikenal dengan nama suku Betawi. Waktu itu luas Batavia hanya mencakup
daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara. Sebelum kedatangan para
budak tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta
seperti masyarakat Jatinegara
Kaum. Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang,
pada zaman kolinialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing.
Maka di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan,
Pekojan, Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung
Ambon, Kampung Bali, dan Manggarai.
Pada tanggal 9 Oktober 1740, terjadi
kerusuhan di Batavia dengan terbunuhnya 5.000 orang Tionghoa. Dengan terjadinya
kerusuhan ini, banyak orang Tionghoa yang lari ke luar kota dan melakukan
perlawanan terhadap Belanda.[14] Dengan selesainya Koningsplein (Gambir) pada tahun 1818, Batavia berkembang ke arah selatan.
Tanggal 1 April 1905 di Ibukota Batavia dibentuk dua kotapraja atau gemeente, yakni
Gemeente Batavia dan Meester Cornelis. Tahun 1920, Belanda membangun kota taman
Menteng, dan wilayah ini menjadi tempat baru bagi petinggi Belanda menggantikan Molenvliet di utara. Pada tahun 1935, Batavia dan
Meester Cornelis (Jatinegara)
telah terintegrasi menjadi sebuah wilayah Jakarta Raya.[15]
Pada 1
Januari 1926 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk pembaharuan
sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas. Di Pulau Jawa dibentuk
pemerintahan otonom provinsi. Provincie West Java adalah
provinsi pertama yang dibentuk di wilayah Jawa yang diresmikan dengan surat
keputusan tanggal 1 Januari 1926, dan diundangkan dalam Staatsblad (Lembaran
Negara) 1926 No. 326, 1928 No. 27 jo No. 28, 1928 No. 438, dan 1932 No. 507.
Batavia menjadi salah satu keresidenan dalam Provincie West Java disamping
Banten, Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon.
Jakarta (1942–Sekarang)
Penjajahan
oleh Jepang dimulai
pada tahun 1942 dan
mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk
menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan
tempat dilangsungkannya Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan
diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.
Sebelum
tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun
1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah
walikota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh
gubernur. Yang menjadi gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu
itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Jakarta
diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan
gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno.[16]
Semenjak
dinyatakan sebagai ibu kota, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat
kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta.
Dalam waktu 5 tahun penduduknya berlipat lebih dari dua kali. Berbagai kantung
pemukiman kelas menengah baru kemudian berkembang, seperti Kebayoran Baru, Cempaka Putih, Pulo Mas, Tebet, danPejompongan. Pusat-pusat pemukiman juga banyak dibangun
secara mandiri oleh berbagai kementerian dan institusi milik negara seperti Perum Perumnas.
Pada masa
pemerintahan Soekarno, Jakarta melakukan pembangunan proyek besar, antara lain Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Pada masa ini pula Poros
Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman mulai dikembangkan sebagai pusat bisnis kota,
menggantikan poros Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara. Pusat pemukiman
besar pertama yang dibuat oleh pihak pengembang swasta adalah Pondok Indah (oleh PT Pembangunan Jaya) pada akhir dekade
1970-an di wilayah Jakarta Selatan.
Laju
perkembangan penduduk ini pernah coba ditekan oleh gubernur Ali Sadikin pada awal 1970-an dengan menyatakan Jakarta
sebagai "kota tertutup" bagi pendatang. Kebijakan ini tidak bisa
berjalan dan dilupakan pada masa-masa kepemimpinan gubernur selanjutnya. Hingga
saat ini, Jakarta masih harus bergelut dengan masalah-masalah yang terjadi
akibat kepadatan penduduk, seperti banjir, kemacetan, serta kekurangan alat transportasi umum
yang memadai.
Pada Mei 1998, terjadi kerusuhan di
Jakarta yang memakan korban banyak etnis Tionghoa. Gedung MPR/DPR diduduki
oleh para mahasiswa yang menginginkan reformasi.
Buntut kerusuhan ini adalah turunnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. (Lihat Kerusuhan Mei 1998).
Ekonomi
Selain
sebagai pusat pemerintahan, Jakarta juga merupakan pusat bisnis dan keuangan.
Di samping Bank Indonesia dan Bursa Efek Indonesia, kantor-kantor pusat perusahaan nasional banyak
berlokasi di Jakarta. Saat ini, lebih dari 70% uang negara, beredar di Jakarta.
Jakarta
merupakan salah satu kota di Asia dengan masyarakat kelas menengah cukup besar.
Pada tahun 2009, 13% masyarakat Jakarta berpenghasilan di atas US$ 10.000. Jumlah
ini, menempatkan Jakarta sejajar dengan Singapura, Shanghai, Kuala Lumpur dan Mumbai.
Transportasi
Dalam kota
Peta jalur Transjakarta
Di DKI
Jakarta, tersedia jaringan jalan raya dan jalan tol yang melayani seluruh kota, namun
perkembangan jumlah mobil dengan jumlah jalan sangatlah timpang (5-10% dengan
4-5%).
Menurut data
dari Dinas Perhubungan DKI, tercatat 46 kawasan dengan 100 titik simpang rawan
macet di Jakarta. Definisi rawan macet adalah arus tidak stabil, kecepatan
rendah serta antrean panjang. Selain oleh warga Jakarta, kemacetan juga
diperparah oleh para pelaju dari kota-kota di sekitar Jakarta seperti Depok, Bekasi, Tangerang, dan Bogor yang
bekerja di Jakarta. Untuk di dalam kota, kemacetan dapat dilihat di Jalan
Sudirman, Jalan Thamrin, Jalan
Rasuna Said, Jalan
Satrio, dan Jalan
Gatot Subroto. Kemacetan sering terjadi pada pagi dan sore
hari, yakni di saat jam pergi dan pulang kantor.
Untuk
melayani mobilitas penduduk Jakarta, pemerintah menyediakan sarana bus PPD. Selain itu terdapat pula bus kota yang dikelola oleh
pihak swasta, seperti Mayasari Bhakti, Metro Mini, Kopaja, dan Bianglala.
Bus-bus ini melayani rute yang menghubungkan terminal-terminal dalam kota,
antara lain Pulogadung, Kampung Rambutan, Blok M, Kalideres, Grogol, Tanjung
Priok, Lebak Bulus, Rawamangun, dan Kampung Melayu.
Untuk angkutan lingkungan,
terdapat angkutan kota seperti Mikrolet dan KWK, dengan rute dari terminal ke
lingkungan sekitar terminal. Selain itu ada pula ojek, bajaj, dan bemo untuk
angkutan jarak pendek. Tidak seperti wilayah lainnya di Jakarta yang
menggunakan sepeda motor, di kawasan Tanjung Priok dan Jakarta Kota, pengendara
ojek menggunakan sepeda ontel. Angkutan becak masih
banyak dijumpai di wilayah pinggiran Jakarta seperti di Bekasi, Tangerang, dan
Depok.
Transjakarta
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Transjakarta
Bus Transjakarta (Busway).
Sejak tahun
2004, Pemerintah Daerah DKI Jakarta telah menghadirkan layanan transportasi
umum yang dikenal dengan TransJakarta. Layanan ini menggunakan bus AC dan halte yang berada di
jalur khusus. Saat ini ada sebelas koridor Transjakarta yang telah beroperasi,
yaitu :
Kereta Listrik
Artikel utama untuk bagian ini adalah: KRL Jabotabek
Kereta api Listrik (KRL) Jabotabek
Selain bus
kota, angkutan kota, dan bus Transjakarta, sarana transportasi andalan masyarakat Jakarta adalah kereta rel listrik atau
yang biasa dikenal dengan KRL Jabotabek. Kereta listrik ini beroperasi dari pagi hari hingga
malam hari, melayani masyrakat penglaju yang bertempat tinggal di seputaran
Jabodetabek. Ada beberapa jalur kereta rel listrik, yakni
§ Jalur Pengumpan.
Angkutan Sungai Jakarta /Waterway
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Angkutan Sungai Jakarta
Angkutan
Sungai, atau lebih populer dengan sebutan Waterways, adalah sebuah sistem
transportasi alterntif melalui sungai di Jakarta, Indonesia. Sistem
transportasi ini diresmikan penggunaannya oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso
pada tanggal 6 Juni 2007. Sistem ini merupakan bagian dari penataan sistem
transportasi di Jakarta yang disebut Pola Transportasi Makro (PTM). Dalam PTM
disebutkan bahwa arah penataan sistem transportasi merupakan integrasi beberapa
model transportasi yang meliputi Bus Rapid Transit (BRT), Light Rapid Transit
(LRT), Mass Rapid Transit (MRT), dan Angkutan Sungai (Waterways).[1]
Waterways
mulai dioperasikan dan diintegrasikan dalam transportasi makro Jakarta setelah
peresmian rute Halimun-Karet sepanjang 1,7 kilometer oleh Gubernur Sutiyoso
pada 6 Juni 2007. Rute ini merupakan bagian dari perencanaan rute
Manggarai-Karet sepanjang 3,6 kilometer. Waterways merupakan kelanjutan dari
pengoperasian sistem transportasi TransJakarta. Untuk mengawali Waterways,
Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta mengoperasikan dua unit kapal yang
masing-masing berkapasitas 28 orang yang disebut KM Kerapu III dan KM Kerapu IV
yang berkecepatan maksimal 8 knot
Luar kota
Untuk ke
kota-kota di Pulau Jawa, bisa dicapai dari Jakarta dengan jaringan
jalan dan beberapa ruas jalan tol. Jalan tol terbaru adalah Jalan Tol Cipularang yang
mempersingkat waktu tempuh Jakarta-Bandung menjadi sekitar 2 - 3 jam. Selain itu juga
tersedia layanan kereta api yang berangkat dari enam stasiun pemberangkatan di Jakarta. Untuk ke Pulau Sumatera, tersedia ruas jalan tol Jakarta-Merak yang
kemudian dilanjutkan dengan layanan penyeberangan dari Pelabuhan Merak ke Bakauheni.
Untuk ke luar pulau dan luar negeri, Jakarta memiliki
satu pelabuhan laut diTanjung Priok dan dua bandar udara yaitu:
§ Bandara Internasional Soekarno Hatta, Cengkareng Banten yang
berfungsi sebagai pintu masuk utama ke Indonesia. Dari dan
ke Bandara Soekarno Hatta, tersedia bus Damri yang
mengantarkan penumpang dari dan ke Gambir, Rawamangun, Blok M, Pasar Minggu, Kampung
Rambutan, Bogor, dan Bekasi, dll
§ Bandara Halim
Perdanakusuma yang banyak
berfungsi untuk melayani penerbangan kenegaraan serta penerbangan jarak pendek.
Untuk
mendukung laju mobilitas penduduk, Jakarta membangun sejumlah jalan tol yaitu
Tol Dalam Kota, Tol
Lingkar Luar, Tol Bandara, serta ruas tol Jakarta-Cikampek, Jakarta-Bogor-Ciawi, dan Jakarta-Merak, yang menghubungkan Jakarta dengan kota-kota di
sekitarnya. Selain itu, juga sedang dibangun ruas tol dalam kota yang
menghubungkan Bekasi Utara-Cawang-Kampung Melayu. Pemerintah juga berencana
membangun Tol Lingkar Luar tahap kedua yang melingkar dari Bandara Soekarno
Hatta-Tangerang-Serpong-Cinere-Cimanggis-Cibitung-Tanjung Priok.
Pemerintah
Daerah DKI Jakarta tengah mempersiapkan pembangunan kereta bawah tanah (subway)
yang dananya diperoleh dari pinjaman lunak negara Jepang. Untuk lintasan kereta
api, pemerintah sedang menyiapkan double-double track pada
jalur lintasan kereta api Manggarai-Cikarang. Selain itu juga, saat ini sedang
direncanakan untuk membangun jalur kereta api dari Manggarai menuju Bandara
Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng.
Pemerintahan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemerintahan DKI Jakarta
Peta DKI Jakarta tanpa Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.
Dasar hukum
bagi DKI Jakarta adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2007,
tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai ibu kota
Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU ini menggantikan UU Nomor 34 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Negara Republik Indonesia
Jakarta serta UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus
Ibu kota Negara Republik Indonesia Jakarta yang keduanya tidak berlaku lagi.
Jakarta
berstatus setingkat provinsi dan dipimpin oleh seorang gubernur. Berbeda dengan
provinsi lainnya, Jakarta hanya memiliki pembagian di bawahnya berupa kota
administratif dan kabupaten administratif, yang berarti tidak memiliki
perwakilan rakyat tersendiri.
DKI Jakarta
memiliki status khusus sebagai Daerah Khusus Ibukota. DKI Jakarta ini dibagi kepada lima kota dan
satu kabupaten, yaitu:
1.
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
2.
Kota Administrasi Jakarta Barat
3.
Kota Administrasi Jakarta Pusat
4.
Kota Administrasi Jakarta Selatan
5.
Kota Administrasi Jakarta Timur
6.
Kota Administrasi Jakarta Utara
Nama-Nama Gubernur DKI Jakarta Dari Yang Pertama S/D Terakhir - Sejarah Daerah Khusus Ibukota Jakarta
1. Suwirjo - Gubernur DKI
Jakarta untuk periode tahun 1945 - 1951
2. Sjamsuridjal - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1951 - 1953
3. Sudiro - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1953 - 1960
4. Soemarno Sosroatmodjo - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1960 - 1964 dan 1965 - 1966
5. Henk Ngantung - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1964 - 1965
6. Ali Sadikin - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1966 - 1977
7. Tjokropranolo - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1977 - 1982
8. Soeprapto - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1982 - 1987
9. Wiyogo Atmodarminto - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1987 - 1992
10. Surjadi Soedirja - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1992 - 1997
11. Sutiyoso - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1997 - 2002 dan 2002 - 2007
12. Fauzi Bowo - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 2007-2012
2. Sjamsuridjal - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1951 - 1953
3. Sudiro - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1953 - 1960
4. Soemarno Sosroatmodjo - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1960 - 1964 dan 1965 - 1966
5. Henk Ngantung - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1964 - 1965
6. Ali Sadikin - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1966 - 1977
7. Tjokropranolo - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1977 - 1982
8. Soeprapto - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1982 - 1987
9. Wiyogo Atmodarminto - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1987 - 1992
10. Surjadi Soedirja - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1992 - 1997
11. Sutiyoso - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 1997 - 2002 dan 2002 - 2007
12. Fauzi Bowo - Gubernur DKI Jakarta untuk periode tahun 2007-2012
SUMBER oleh Diky Catur Prastomo